
Rendah Hati
Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si.
Shalom, Saudara-saudari yang terkasih dalam Tuhan Yesus Kristus.
Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan yang Maha Kasih, karena kita dapat berkumpul di tempat ini untuk merenungkan firman-Nya. Hari ini, kita akan bersama-sama menggali sebuah tema yang sangat relevan di zaman kita sekarang: “BerSikap Rendah Hati di Era Digital.” Sebuah tema yang mengajak kita untuk merefleksikan bagaimana iman kita terimplementasi di tengah hiruk pikuk dunia maya.
Era Digital dan Tantangan Kerendahan Hati
Saudara-saudari, kita hidup di era yang luar biasa. Era digital ini adalah masa di mana informasi mengalir begitu deras, teknologi berkembang pesat, dan setiap orang memiliki “panggung” di genggaman tangan mereka. Kita dapat dengan mudah mengakses berbagai platform media sosial, blog, dan situs web. Di satu sisi, ini adalah anugerah yang memampukan kita untuk terhubung, belajar, dan berbagi. Namun, di sisi lain, kemajuan teknologi ini juga menghadirkan tantangan besar, terutama dalam mempertahankan sikap rendah hati.
Dunia digital seringkali mendorong kita untuk menampilkan versi terbaik, paling sukses, atau paling sempurna dari diri kita. Ada godaan untuk memamerkan, membandingkan diri, dan mencari validasi melalui jumlah ‘likes’, ‘followers’, atau komentar positif. Tanpa disadari, ini bisa menjadi lahan subur bagi benih kesombongan untuk tumbuh.
Kesombongan: Kekejian di Mata Tuhan
Alkitab dengan tegas mengingatkan kita tentang bahaya kesombongan. Dalam Amsal 16:5, kita membaca, “Setiap orang yang tinggi hati adalah kekejian bagi TUHAN; sungguh, ia tidak akan luput dari hukuman.” Perhatikan kata “kekejian.” Ini bukan sekadar sesuatu yang tidak disukai Tuhan, tetapi sesuatu yang sangat menjijikkan bagi-Nya. Mengapa? Karena kesombongan menempatkan diri kita di posisi Tuhan, merampas kemuliaan yang seharusnya hanya milik-Nya.
Lebih jauh, Amsal juga memperingatkan kita tentang konsekuensi kesombongan. Amsal 16:18 menyatakan, “Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan.” Ayat ini adalah peringatan keras. Sejarah, baik sejarah dunia maupun sejarah pribadi kita, dipenuhi dengan kisah-kisah kehancuran yang dimulai dari kecongkakan. Di media sosial, kita mungkin sering melihat orang-orang memamerkan kekayaan, kecantikan, atau kesuksesan mereka. Mereka mungkin memiliki banyak pengikut dan likes, tetapi apakah itu benar-benar membawa kebahagiaan dan kepuasan sejati? Tidak selalu. Seringkali, apa yang tampak gemerlap di permukaan hanyalah fatamorgana yang pada akhirnya dapat membawa kepada kekosongan, bahkan kehancuran, jika didasari oleh kesombongan.
Anugerah Bagi yang Rendah Hati
Namun, ada kabar baik bagi kita. Tuhan kita adalah Tuhan yang penuh kasih dan anugerah. Dia tidak ingin kita jatuh dalam kesombongan. Sebaliknya, Dia rindu agar kita hidup dalam kerendahan hati. Yakobus 4:6 memberikan pengharapan yang luar biasa: “Tetapi kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepada kita lebih besar lagi. Karena itu Ia katakan: ‘Allah menentang orang yang congkak, tetapi memberikan kasih karunia kepada orang yang rendah hati’.”
Ini adalah janji yang menghibur! Tuhan menentang orang yang congkak, tetapi justru melimpahkan kasih karunia kepada orang yang rendah hati. Tuhan ingin kita menjadi orang yang rendah hati, yang mengakui kelemahan kita dan sepenuhnya mengandalkan kasih karunia-Nya, bukan kekuatan atau pencapaian kita sendiri. Kerendahan hati bukan berarti merendahkan diri, tetapi mengakui bahwa segala sesuatu yang kita miliki, termasuk talenta dan kesempatan di era digital ini, adalah anugerah dari Tuhan.
Menerapkan Kerendahan Hati di Era Digital
Lalu, bagaimana kita dapat mempraktikkan kerendahan hati di era digital ini?
Bayangkan seorang fotografer yang sangat berbakat dan memiliki banyak pengikut di media sosial. Ia bisa saja memilih untuk memamerkan hasil karyanya semata, mencari pujian dan pengakuan pribadi. Namun, ia memilih jalan yang berbeda. Ia menggunakan platformnya untuk membagikan tips dan trik fotografi kepada orang lain, bahkan kepada mereka yang baru memulai. Ia juga menginspirasi mereka untuk mengejar passion mereka, memberikan semangat dan dukungan.
Dengan demikian, fotografer ini menunjukkan sikap rendah hati dan kesediaan untuk berbagi anugerah Tuhan kepada orang lain. Ia tidak memikirkan dirinya sendiri sebagai yang terbaik, tetapi malah memikirkan bagaimana ia dapat memberkati dan membantu orang lain bertumbuh. Ia tidak menggunakan platformnya untuk membangun menara keangkuhan diri, tetapi untuk menjadi jembatan berkat bagi sesama.
Sebagai orang percaya, kita harus ingat bahwa kita tidak lebih baik dari orang lain. Kita semua adalah manusia yang lemah dan berdosa, yang hanya dapat berdiri karena kasih karunia dan pengampunan Tuhan. Oleh karena itu, mari kita memilih untuk hidup dengan sikap rendah hati. Mari kita menggunakan setiap platform digital yang kita miliki – baik itu media sosial, blog, atau bahkan percakapan di grup chat – untuk membagikan inspirasi, motivasi, dan kasih karunia Tuhan kepada orang lain.
Refleksi
Saudara-saudari yang terkasih, di era digital yang serba cepat ini, mari kita berkomitmen untuk memupuk dan mempraktikkan sikap rendah hati. Mari kita mengakui kelemahan kita dan sepenuhnya mengandalkan kasih karunia Tuhan. Hendaknya jari-jemari kita yang lincah di keyboard dan smartphone bukan untuk memamerkan diri, melainkan untuk menjadi alat yang memancarkan terang Kristus.
Biarlah hidup kita, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, menjadi kesaksian akan anugerah Tuhan yang besar. Dengan demikian, kita dapat menunjukkan sikap rendah hati dan kesediaan untuk menjadi saluran berkat bagi sesama.
Tuhan memberkati kita semua, di setiap langkah hidup kita, di setiap post dan setiap comment yang kita bagikan! Amin.