
Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si. – Ketua Umum Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI)
Marturia.digital – Jakarta, Di tengah hiruk-pikuk peradaban digital yang semakin mendominasi kehidupan kita saat ini, pertanyaan teologis mendasar kembali menggema: Di manakah Allah? Secara khusus, bagi tradisi iman yang diilhami oleh Teologi Pembebasan dan refleksi mendalam tentang salib, pertanyaan ini menjadi lebih tajam: Apakah Allah yang berbelas kasih dan solider dengan penderitaan manusia, juga turut “menderita” di dunia maya? Dunia maya, dengan segala kompleksitasnya—ruang koneksi sekaligus alienasi, informasi sekaligus disinformasi, pemberdayaan sekaligus penindasan—menjadi arena baru untuk merefleksikan kehadiran dan keprihatinan Ilahi. Menjelang perayaan Paskah 2025, refleksi ini menjadi krusial untuk memahami panggilan iman kita saat ini.
Suara dari Amerika Latin: Allah Memihak yang Tertindas
Teologi Pembebasan, yang lahir dari pergumulan nyata masyarakat Amerika Latin, memberikan fondasi kuat untuk memahami Allah yang tidak netral. Para pelopornya seperti:
- Gustavo Gutiérrez (Peru): Menegaskan “opsi preferensial bagi kaum miskin”. Allah secara khusus berpihak pada mereka yang tersingkirkan, tertindas, dan menderita akibat struktur sosial yang tidak adil. Teologi dimulai dari realitas penderitaan ini, bukan dari abstraksi dogmatis.
- Leonardo Boff (Brasil): Memperdalam gagasan tentang Allah Tritunggal sebagai komunitas kasih yang solider dengan ciptaan, dan Yesus sebagai representasi Allah yang membebaskan kaum tertindas.
- Enrique Dussel (Argentina/Meksiko): Mengkritik filsafat dan teologi Eropa-sentris, dan menekankan pentingnya mendengar suara korban (“yang lain”) sebagai titik awal etika dan teologi pembebasan.
Bagi mereka, penderitaan manusia akibat ketidakadilan bukanlah takdir, melainkan dosa struktural yang harus dilawan. Allah hadir dalam perjuangan pembebasan ini, menderita bersama umat-Nya.
Gema Pembebasan dan Belarasa di Indonesia
Semangat Teologi Pembebasan ini, meskipun mungkin tidak selalu diadopsi secara formal, bergema kuat dalam tindakan dan pemikiran tokoh-tokoh Indonesia:
- Abdurrahman Wahid (Gus Dur): Perjuangannya membela hak-hak kaum minoritas dan rakyat kecil dari kesewenang-wenangan adalah wujud nyata keberpihakan pada yang tertindas.
- Y.B. Mangunwijaya (Romo Mangun): Advokasinya bagi korban penggusuran dan pelanggaran HAM di Kedung Ombo dan tempat lain menunjukkan iman yang berpihak dan tidak takut berkonflik demi keadilan.
- Adi Sasono & Dr. Sritua Arief: Peran mereka dalam memperkenalkan dan mendiskusikan teori-teori kritis, termasuk yang berbau pembebasan, melalui jalur LSM turut memperkaya wacana tentang pembangunan dan keadilan sosial di Indonesia.
Secara teologis, pemikir Indonesia juga bergulat dengan tema penderitaan dan keberpihakan Allah:
- Pdt. Dr. A.A. Yewangoe: Dengan konsep “Theologia Crucis di Asia”, ia menekankan bahwa salib—simbol penderitaan, kelemahan, dan solidaritas Allah dalam Yesus—adalah titik tolak yang paling relevan untuk berteologi dalam konteks Asia yang penuh penderitaan. Allah justru menyatakan kuasa-Nya dalam kerentanan.
- Pdt. Dr. Eka Darmaputera: Meskipun fokus utamanya beragam (Pancasila, pluralisme, teologi kontekstual), pendekatannya yang selalu mengaitkan iman dengan realitas sosial-politik Indonesia secara implisit menyentuh bagaimana Allah hadir dalam pergumulan bangsa, termasuk dalam penderitaan akibat ketidakadilan.
Manifestasi “Penderitaan Allah” di Dunia Maya
Jika Allah menderita bersama mereka yang tertindas dan terpinggirkan, bagaimana hal ini termanifestasi di dunia maya? Penderitaan ini mungkin tidak berbentuk fisik, namun tetap nyata dan merusak citra Allah (Imago Dei) dalam diri manusia:
- Dehumanisasi melalui Ujaran Kebencian & Perundungan Siber: Ketika individu direndahkan, dicaci maki, dan diancam secara online, martabat manusia yang adalah cerminan Allah sedang dicabik-cabik. Allah turut “menderita” dalam keterhinaan korban.
- Manipulasi Kebenaran melalui Hoaks & Disinformasi: Penyebaran kebohongan yang sistematis untuk memecah belah, menipu, atau mengadu domba merusak tatanan sosial dan melukai pencarian manusia akan kebenaran. Allah, Sang Kebenaran, “dilukai” oleh dusta ini.
- Kesenjangan Digital sebagai Bentuk Ketidakadilan Baru: Ketika sebagian orang tidak memiliki akses atau kemampuan untuk memanfaatkan dunia digital demi kehidupan yang lebih baik, sementara yang lain mengeksploitasinya, tercipta struktur ketidakadilan baru. Allah yang berpihak pada kaum miskin “menderita” dalam keterasingan mereka yang “miskin digital”.
- Eksploitasi Data dan Privasi: Komodifikasi data pribadi dan pelanggaran privasi untuk keuntungan segelintir pihak adalah bentuk eksploitasi modern. Martabat dan otonomi individu, cerminan Allah, direduksi menjadi objek.
- Kecanduan dan Masalah Kesehatan Mental: Algoritma yang dirancang untuk memaksimalkan engagement seringkali mengorbankan kesehatan mental pengguna, menjerat mereka dalam siklus kecanduan dan kecemasan. Ini adalah bentuk “perbudakan” baru di mana Allah “menderita” dalam keterikatan ciptaan-Nya.
- Pembungkaman Suara Kritis dan Minoritas: Ketika platform digital digunakan untuk membungkam suara-suara alternatif atau mengintimidasi mereka yang memperjuangkan keadilan, ini adalah bentuk penindasan di mana Allah yang memihak pada yang tak bersuara turut “dibungkam”.
Refleksi Paskah 2025: Salib Berdiri Tegak di Dunia Maya
Menjelang Paskah 2025, pertanyaannya bukanlah apakah Allah menderita di dunia maya, melainkan bagaimana kita meresponsnya. Jawabannya tegas: Ya, Allah masih dan senantiasa menderita di mana pun citra-Nya dalam diri manusia dilukai dan keadilan diinjak-injak, termasuk di ruang siber. Salib Kristus, puncak solidaritas Allah dalam penderitaan, tidak hanya berdiri di Golgota 2000 tahun lalu, tetapi juga berdiri secara metaforis di tengah kebisingan server, kekejaman anonimitas, dan ketidakadilan algoritma.
Namun, Paskah tidak berhenti pada Jumat Agung. Kebangkitan adalah proklamasi kemenangan Allah atas dosa dan maut, termasuk dosa struktural dan “kematian” martabat manusia yang terjadi di dunia maya. Kebangkitan adalah pengharapan dan panggilan untuk bertindak, untuk berpartisipasi dalam karya pembebasan Allah.
“Membebaskan Allah” di Peradaban Digital: Panggilan Profetik
Bagaimana teologi pembebasan memberikan solusi? Tujuannya bukanlah “membebaskan Allah” seolah-olah Allah terpenjara, melainkan membebaskan manusia dari kondisi-kondisi yang menyebabkan penderitaan, tempat di mana Allah hadir dalam solidaritas-Nya. Ini berarti “membebaskan” citra Allah dalam diri manusia agar tidak lagi terinjak-injak di dunia maya. Inspirasi dari para teolog pembebasan mendorong kita untuk:
- Mengembangkan Kesadaran Kritis (Conscientization): Memahami cara kerja platform digital, bias algoritma, penyebaran disinformasi, dan dampak sosialnya.
- Melakukan Opsi Preferensial bagi “Korban Digital”: Berpihak dan menyuarakan mereka yang menjadi korban perundungan siber, hoaks, penipuan online, dan eksklusi digital.
- Praksis Pembebasan Digital: Terlibat dalam tindakan nyata – mulai dari literasi digital, advokasi kebijakan internet yang adil, menciptakan konten positif, membangun komunitas online yang suportif, hingga melawan ujaran kebencian dan disinformasi secara aktif dan bertanggung jawab.
- Menjadi Suara Nubuatan: Berani mengkritik korporasi teknologi atau pihak mana pun yang melanggengkan ketidakadilan dan dehumanisasi di ruang digital.
- Menghidupi Spiritualitas yang Terlibat: Menolak menjadi pengguna pasif, tetapi aktif menghadirkan nilai-nilai kasih, keadilan, dan kebenaran dalam setiap interaksi digital.
Dari Salib Digital Menuju Kebangkitan Kemanusiaan
Allah yang Menderita hadir secara nyata dalam pergulatan kemanusiaan di dunia maya. Gema Teologi Pembebasan dari Amerika Latin hingga Indonesia, yang diperkaya oleh Theologia Crucis, memanggil kita untuk tidak menutup mata. Paskah 2025 adalah momentum untuk merenungkan kembali makna salib dan kebangkitan di era ini. Salib berdiri di tengah penderitaan digital, namun kebangkitan menjanjikan harapan transformasi. Panggilan kita jelas: terlibat dalam praksis pembebasan untuk mengurangi penderitaan di dunia maya, sehingga citra Allah dalam setiap pribadi dapat semakin bersinar, bebas dari penindasan dan penuh martabat.