
Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si. – Ketua Umum Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI)
Marturia.digital – Jakarta, Fundamentalisme adalah sebuah istilah yang menggambarkan kepercayaan pada interpretasi literal atau harfiah dari suatu doktrin atau teks suci, dan upaya untuk kembali ke “dasar-dasar” (fundamental) dari kepercayaan tersebut. Istilah ini sering kali dikaitkan dengan agama, tetapi konsep fundamentalisme juga bisa diterapkan pada ideologi atau gerakan lain di luar agama, seperti politik atau sosial.
Berikut adalah poin-poin penting untuk memahami fundamentalisme:
1. Interpretasi Literal atau Harfiah:
Kunci utama fundamentalisme adalah keyakinan bahwa teks suci (misalnya, kitab suci agama) harus diinterpretasikan secara literal. Ini berarti bahwa fundamentalis cenderung percaya bahwa setiap kata dalam teks suci memiliki makna yang persis seperti yang tertulis, tanpa perlu mempertimbangkan konteks historis, budaya, atau metafora.
Menolak Interpretasi Simbolik atau Kritis: Mereka cenderung menolak interpretasi simbolik, alegoris, atau pendekatan kritis terhadap teks suci yang mempertimbangkan perkembangan sejarah atau perubahan budaya. Bagi fundamentalis, makna teks suci adalah abadi dan tidak berubah.
2. Kembali ke “Dasar-Dasar” (Fundamenta):
Fundamentalisme memiliki keinginan kuat untuk kembali ke “dasar-dasar” atau “fundamenta” dari kepercayaan atau tradisi. Ini sering kali diartikan sebagai upaya untuk memurnikan kembali agama atau ideologi dari pengaruh modernisasi, sekularisasi, atau interpretasi yang dianggap menyimpang.
Merasa “Asli” dan “Murni”: Fundamentalis seringkali merasa bahwa mereka adalah satu-satunya yang mempertahankan bentuk “asli” dan “murni” dari kepercayaan mereka, sementara kelompok lain telah menyimpang atau terkontaminasi oleh pengaruh luar.
3. Reaksi terhadap Modernitas dan Sekularisasi:
Fundamentalisme sering muncul sebagai reaksi terhadap modernitas dan sekularisasi. Mereka melihat modernitas (perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, perubahan sosial, nilai-nilai liberal) dan sekularisasi (pengurangan peran agama dalam kehidupan publik) sebagai ancaman terhadap nilai-nilai tradisional dan keyakinan agama mereka.
Menolak Nilai-nilai Modern: Fundamentalisme cenderung menolak nilai-nilai modern seperti pluralisme, relativisme moral, individualisme, dan sekularisme. Mereka melihat nilai-nilai ini sebagai merusak tatanan sosial dan moral yang ideal.
4. Sikap “Hitam dan Putih” (Dogmatis dan Tidak Toleran):
Fundamentalisme seringkali ditandai dengan sikap “hitam dan putih” dalam memandang dunia. Mereka cenderung membagi dunia menjadi “benar” dan “salah”, “baik” dan “jahat”, “kita” dan “mereka” secara tegas.
Dogmatis dan Tidak Toleran: Fundamentalisme cenderung dogmatis (percaya bahwa pandangan mereka adalah satu-satunya kebenaran mutlak) dan kurang toleran terhadap pandangan yang berbeda atau alternatif. Ini bisa menyebabkan intoleransi terhadap kelompok lain yang dianggap “tidak benar” atau “menyimpang”.
5. Bukan Hanya Agama:
Meskipun istilah fundamentalisme sering dikaitkan dengan agama (terutama fundamentalisme agama), konsep ini juga bisa diterapkan pada ideologi atau gerakan lain. Misalnya, ada yang menyebut “fundamentalisme pasar bebas” dalam konteks ekonomi, atau “fundamentalisme nasionalis” dalam konteks politik. Dalam kasus ini, “fundamenta”-nya bukan teks suci agama, tetapi prinsip-prinsip dasar ideologi tersebut yang dianggap harus diinterpretasikan dan diterapkan secara ketat.
Contoh dalam Konteks Agama:
Fundamentalisme Kristen: Muncul pada awal abad ke-20 di kalangan Protestan Amerika sebagai reaksi terhadap teologi liberal dan modernisme. Mereka menekankan “lima poin fundamental” dari iman Kristen dan interpretasi literal Alkitab.
Fundamentalisme Islam: Muncul sebagai berbagai gerakan yang menyerukan kembali ke interpretasi “murni” Islam, menolak pengaruh Barat, dan seringkali mengadvokasi penerapan hukum Islam secara ketat dalam kehidupan publik.
Fundamentalisme Yahudi: Beberapa kelompok dalam Yudaisme Ortodoks yang menolak sekularisme dan modernitas serta menekankan interpretasi literal Taurat dan tradisi Yahudi.
Penting untuk Dicatat:
Istilah “fundamentalisme” seringkali memiliki konotasi negatif. Ini karena fundamentalisme sering dikaitkan dengan sikap kaku, tidak toleran, dan bahkan ekstremis. Namun, penting untuk diingat bahwa tidak semua orang yang memiliki pandangan konservatif atau tradisional dapat dilabeli sebagai fundamentalis.
Analisis yang Hati-hati: Ketika menggunakan istilah “fundamentalisme,” penting untuk melakukan analisis yang hati-hati dan menghindari generalisasi yang berlebihan. Tidak semua gerakan atau individu yang disebut fundamentalis memiliki karakteristik yang sama persis, dan motivasi mereka bisa beragam.
Kesimpulan:
Fundamentalisme adalah aliran yang menekankan interpretasi literal teks suci atau prinsip-prinsip dasar suatu ideologi, dan upaya untuk kembali ke “dasar-dasar” tersebut sebagai reaksi terhadap modernitas dan sekularisasi. Meskipun sering dikaitkan dengan agama, konsep ini juga bisa diterapkan pada konteks lain. Penting untuk memahami karakteristik dan nuansa fundamentalisme untuk menganalisis berbagai gerakan dan ideologi yang ada di dunia. (Dh.L./Red.***)
Dharma Leksana, S.Th., M.Si.
- Ketua Umum Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI)
- Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Indonesia Bangkit Bersatu (PARTAI IBU)
- Ketua Umum Yayasan Berita Siber Indonesia (YABERSI)
- Pendiri Media Wartagereja.co.id dan puluhan media online lainnya
- CEO PT. Dharma Leksana Media Group
- Direktur Utama PT. Berita Siber Indonesia Raya
- CEO PT. Berita Kampus Media Tama
- CEO PT. Media Kami Untuk Bangun Negeri
- Direktur PT. Untuk Indonesia Seharusnya (PT. UIS)
- Komisaris PT. Liputan Media Online Network
- CEO PT. Media Kantor Hukum Online