
Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si.
Marturia.digital – Jakarta, Disinformasi, dalam konteks isu keagamaan, merujuk pada penyebaran informasi yang keliru, tidak akurat, atau bahkan palsu yang berkaitan dengan agama, keyakinan, praktik keagamaan, atau kelompok agama tertentu. Disinformasi ini bisa disebarkan secara sengaja untuk tujuan tertentu, atau tidak sengaja karena kurangnya pemahaman atau verifikasi.
Karakteristik Disinformasi Keagamaan:
- Mengatasnamakan Agama: Disinformasi seringkali menggunakan simbol, bahasa, atau tokoh agama untuk memberikan kesan kredibilitas dan meyakinkan orang.
- Menyasar Emosi: Disinformasi keagamaan seringkali dirancang untuk membangkitkan emosi kuat seperti ketakutan, kemarahan, atau kebencian, sehingga lebih mudah diterima tanpa berpikir kritis.
- Penyebaran Cepat: Platform digital dan media sosial memungkinkan disinformasi keagamaan menyebar dengan sangat cepat dan luas, menjangkau banyak orang dalam waktu singkat.
- Sulit Dibedakan: Terkadang disinformasi keagamaan dibuat sedemikian rupa sehingga sulit dibedakan dari informasi yang benar, terutama bagi mereka yang kurang memiliki pengetahuan mendalam tentang agama atau literasi media.
Berikut beberapa contoh Disinformasi dalam Isu Keagamaan:
Hoaks tentang Ajaran Agama: Penyebaran informasi palsu yang mengklaim bahwa ajaran agama tertentu menyimpang, sesat, atau mengajarkan kekerasan. Contohnya, hoaks yang memutarbalikkan ayat suci atau ajaran agama untuk membenarkan tindakan ekstremisme.
Teori Konspirasi Keagamaan: Penciptaan dan penyebaran teori konspirasi yang melibatkan kelompok agama tertentu sebagai dalang atau target konspirasi. Contohnya, teori konspirasi yang menyalahkan kelompok agama minoritas atas masalah sosial atau politik.
Manipulasi Konten Keagamaan: Penggunaan deepfake atau manipulasi video dan audio untuk menciptakan konten palsu yang menampilkan tokoh agama atau pemimpin spiritual mengucapkan atau melakukan sesuatu yang tidak pernah mereka lakukan. Ini bisa digunakan untuk merusak reputasi atau memicu konflik antar kelompok agama.
Klaim Mukjizat Palsu: Penyebaran klaim palsu tentang mukjizat, penampakan ilahi, atau kejadian supranatural lainnya untuk menarik pengikut atau keuntungan finansial. Contohnya, klaim palsu tentang air suci yang bisa menyembuhkan segala penyakit.
Informasi Keliru tentang Praktik Keagamaan: Penyebaran informasi yang salah tentang tata cara ibadah, ritual, atau tradisi keagamaan tertentu, yang bisa menimbulkan kebingungan atau kesalahpahaman antar umat beragama. Contohnya, informasi yang salah tentang aturan berpakaian di tempat ibadah agama tertentu.
Tantangan Polarisasi dalam Isu Keagamaan
Polarisasi dalam isu keagamaan merujuk pada proses di mana pandangan dan opini tentang agama menjadi semakin terbelah dan ekstrem, seringkali tanpa ruang untuk dialog, kompromi, atau pemahaman bersama. Polarisasi ini dapat terjadi di dalam satu agama (misalnya, antara kelompok konservatif dan liberal) atau antar agama yang berbeda.
Karakteristik Polarisasi Keagamaan:
Menguatnya Identitas Kelompok: Polarisasi seringkali diperkuat oleh identitas kelompok yang kuat, di mana individu merasa sangat terikat pada kelompok agama mereka dan melihat kelompok lain sebagai “lawan” atau “ancaman”.
Berkurangnya Ruang Tengah: Polarisasi cenderung menghilangkan atau mengecilkan ruang bagi pandangan moderat atau jalan tengah. Opini menjadi semakin ekstrem dan terkotak-kotak.
Dialog yang Terhambat: Polarisasi mempersulit dialog dan komunikasi yang konstruktif antar kelompok agama atau antar pandangan yang berbeda dalam satu agama. Sikap saling curiga dan intoleransi meningkat.
Konflik dan Kekerasan: Dalam kasus ekstrem, polarisasi keagamaan dapat memicu konflik sosial, diskriminasi, atau bahkan kekerasan antar kelompok agama.
Contoh Polarisasi dalam Isu Keagamaan:
Polarisasi dalam Interpretasi Kitab Suci: Perbedaan interpretasi kitab suci atau teks agama yang semakin tajam dan tidak toleran, di mana setiap kelompok merasa interpretasi mereka adalah satu-satunya yang benar dan menolak pandangan lain.
Polarisasi dalam Isu Sosial dan Politik: Isu-isu sosial dan politik seperti hak LGBT, aborsi, atau peran agama dalam negara seringkali menjadi lahan polarisasi keagamaan. Kelompok agama yang berbeda mengambil posisi yang sangat bertentangan dan sulit untuk mencapai titik temu.
Polarisasi dalam Media Sosial: Algoritma media sosial dapat memperkuat polarisasi keagamaan dengan menampilkan konten yang hanya sesuai dengan pandangan pengguna, menciptakan “ruang gema” di mana pandangan yang berbeda jarang terpapar. Ini dapat memperkuat ekstremisme dan intoleransi.
Politik Identitas Keagamaan: Penggunaan agama sebagai alat politik untuk memobilisasi dukungan dan memecah belah masyarakat. Politik identitas keagamaan seringkali memanfaatkan polarisasi untuk memperkuat basis dukungan dan menyingkirkan kelompok lain.
Konflik Antar Denominasi atau Sekte: Polarisasi dapat terjadi di dalam satu agama, misalnya antara denominasi atau sekte yang berbeda yang memiliki pandangan teologis atau praktik keagamaan yang berbeda. Perbedaan ini bisa menjadi sumber konflik dan perpecahan.
Dampak Tantangan Disinformasi dan Polarisasi Keagamaan:
Kerusakan Kerukunan Umat Beragama: Disinformasi dan polarisasi dapat merusak hubungan antar umat beragama, menciptakan prasangka, kebencian, dan konflik.
Melemahnya Kepercayaan pada Agama: Penyebaran disinformasi dan polarisasi dapat membuat orang meragukan kredibilitas agama dan institusi keagamaan.
Konflik Sosial dan Kekerasan: Dalam kasus ekstrem, disinformasi dan polarisasi keagamaan dapat memicu konflik sosial, diskriminasi, kekerasan, dan bahkan terorisme.
Hambatan Pembangunan Sosial: Polarisasi keagamaan dapat menghambat kerjasama dan solidaritas sosial dalam mengatasi masalah-masalah kemanusiaan dan pembangunan.
Pentingnya Peran Wartawan Gereja Indonesia (PWGI):
Dalam menghadapi tantangan disinformasi dan polarisasi keagamaan di era digital, peran wartawan gereja seperti Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI) menjadi sangat krusial.
Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI) dapat berperan sebagai:
- Verifikator Fakta: Melawan disinformasi dengan melakukan verifikasi fakta dan menyebarkan informasi yang akurat dan terpercaya tentang isu-isu keagamaan.
- Promotor Dialog: Mendorong dialog dan komunikasi yang konstruktif antar kelompok agama dan antar pandangan yang berbeda dalam satu agama.
- Pendidik Literasi Media: Meningkatkan literasi media di kalangan umat beragama agar mereka lebih kritis dalam menerima dan menyebarkan informasi online.
- Penyebar Nilai-Nilai Perdamaian dan Toleransi: Mempromosikan nilai-nilai perdamaian, toleransi, dan kerukunan umat beragama melalui karya jurnalistik.
- Pengawas Narasi Ekstrem: Memantau dan melaporkan narasi-narasi ekstrem dan intoleran yang beredar di ruang digital, serta memberikan konteks dan analisis yang mendalam.
Dengan menjalankan peran-peran ini, PWGI dapat berkontribusi secara signifikan dalam mengatasi tantangan disinformasi dan polarisasi keagamaan, serta membangun masyarakat yang lebih inklusif, toleran, dan harmonis di era digital ini.