
Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si.
Marturia.digital – Jakarta, Kemajuan teknologi, terutama di era digital, melaju dengan kecepatan yang seringkali terasa melampaui kemampuan kita untuk sepenuhnya memahami atau mengendalikannya. Kekhawatiran muncul: akankah teknologi yang kita ciptakan suatu hari berbalik melawan kita, menjadi “liar” dan tak terkendali?
Pertanyaan ini bukanlah hal baru. Hampir dua abad lalu, Mary Shelley melalui mahakaryanya, Frankenstein; or, The Modern Prometheus, telah menyajikan alegori kuat tentang bahaya ambisi ilmiah yang tak terkendali dan tanggung jawab seorang pencipta terhadap ciptaannya.
Artikel ini akan mengeksplorasi bagaimana kita dapat berupaya mengendalikan kemajuan teknologi agar tetap selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan. Kita akan melihat relevansi peringatan dalam Frankenstein dengan tantangan teknologi masa kini, khususnya teknologi digital.
Lebih jauh lagi, kita akan mencoba merenungkan narasi ini dalam dialog tak terduga dengan inti teologi Kristen, yakni kisah penciptaan manusia oleh Yahweh dan puncak penebusan melalui pengorbanan Yesus Kristus, Sang Pencipta yang rela menderita demi ciptaan-Nya.
Bagaimana narasi-narasi ini – satu fiksi gotik, satu fondasi iman – dapat memberi kita perspektif dalam menghadapi masa depan teknologi?
Bagian 1: Teknologi Digital dan Masa Depan Manusia: Antara Utopia dan Distopia
Teknologi digital telah merombak hampir setiap aspek kehidupan manusia. Dari komunikasi instan melintasi benua hingga kecerdasan buatan (AI) yang mampu menganalisis data kompleks dan bahkan menciptakan karya seni, potensinya tampak tak terbatas. Teknologi menjanjikan efisiensi, kemudahan, penemuan baru dalam kedokteran, solusi untuk perubahan iklim, dan bentuk-bentuk konektivitas sosial yang belum pernah ada sebelumnya.
Namun, di balik janji-janji utopis ini, terselip potensi distopia yang mengkhawatirkan. Beberapa isu krusial yang muncul adalah:
- Kehilangan Kontrol: Perkembangan AI yang semakin otonom menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana kita bisa mengendalikan sistem yang kita ciptakan. Algoritma yang bias dapat melanggengkan diskriminasi, sistem pengawasan dapat mengikis privasi, dan senjata otonom memunculkan dilema etika yang mengerikan tentang keputusan hidup dan mati.
- Dampak Sosial dan Ekonomi: Otomatisasi mengancam lapangan kerja tradisional, memperlebar kesenjangan ekonomi. Media sosial, meskipun menghubungkan, juga dapat menjadi platform penyebaran disinformasi, polarisasi, dan masalah kesehatan mental.
- Pertanyaan Eksistensial: Kemajuan dalam bioteknologi dan rekayasa genetika, yang seringkali berjalan beriringan dengan teknologi digital (misalnya, analisis data genetik), membawa kita pada pertanyaan mendasar tentang apa artinya menjadi manusia. Di mana batas antara menyempurnakan dan “bermain Tuhan”?
Mengendalikan kemajuan teknologi agar tidak “liar” bukanlah tentang menghentikan inovasi, melainkan tentang mengarahkan inovasi tersebut secara sadar dan bertanggung jawab. Ini membutuhkan:
- Kerangka Etika yang Kuat: Prinsip-prinsip etika harus menjadi inti dari desain, pengembangan, dan penerapan teknologi. Nilai-nilai seperti keadilan, transparansi, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap martabat manusia harus diutamakan.
- Regulasi yang Adaptif: Kebijakan dan hukum perlu terus beradaptasi untuk mengimbangi kecepatan perubahan teknologi, melindungi hak-hak individu, dan menetapkan batasan yang jelas.
- Diskursus Publik yang Inklusif: Dialog antara ilmuwan, insinyur, filsuf, teolog, pembuat kebijakan, dan masyarakat umum sangat penting untuk membentuk konsensus tentang arah teknologi yang diinginkan.
- Pendidikan dan Kesadaran: Masyarakat perlu dibekali pemahaman kritis tentang cara kerja teknologi dan dampaknya agar dapat berpartisipasi secara bermakna dalam pengambilan keputusan.
Tanpa upaya sadar untuk menanamkan nilai dan etika dalam ekosistem teknologi, kita berisiko menciptakan sesuatu yang, seperti makhluk ciptaan Victor Frankenstein, lepas dari kendali dan membawa konsekuensi yang tidak diinginkan.
Bagian 2: Refleksi Frankenstein dan Penebusan Sang Pencipta: Tanggung Jawab di Hadapan Ciptaan
Kisah Frankenstein adalah peringatan abadi tentang konsekuensi penciptaan tanpa tanggung jawab. Victor Frankenstein, didorong oleh ambisi dan kebanggaan ilmiah (hubris), berhasil menciptakan kehidupan. Namun, begitu ciptaannya hidup, ia diliputi kengerian dan penolakan. Victor meninggalkan makhluknya, menolak memberinya nama, bimbingan, atau kasih sayang. Akibatnya, makhluk yang pada dasarnya tidak jahat itu menjadi terasing, menderita karena penolakan masyarakat, dan akhirnya membalas dendam kepada penciptanya dengan kehancuran dan kematian. Tragedi ini bukan hanya karena penciptaan itu sendiri, tetapi karena kegagalan sang pencipta untuk bertanggung jawab atas apa yang telah ia buat. Victor adalah “Prometheus Modern” yang mencuri api (kehidupan) dari para dewa, tetapi ia gagal mengelola api tersebut dengan bijaksana.
Sekarang, mari kita sandingkan narasi ini dengan inti teologi Kristen, khususnya dalam pemahaman dogmatika tentang hubungan antara Allah (Yahweh) sebagai Pencipta dan manusia sebagai ciptaan-Nya, serta karya penebusan Yesus Kristus.
- Penciptaan dan Kehendak Bebas: Dalam teologi Kristen, Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya, menganugerahi mereka kecerdasan, kreativitas, dan kehendak bebas. Kebebasan ini adalah anugerah besar, tetapi juga membawa risiko – kemungkinan penyalahgunaan.
- Kejatuhan dan Dosa: Manusia, dalam kebebasannya, memilih untuk tidak taat (dosa), yang mengakibatkan keterpisahan dari Sang Pencipta dan kerusakan dalam ciptaan itu sendiri. Ciptaan, dalam arti tertentu, “berbalik” dari tujuan semula yang baik.
- Tanggung Jawab dan Penebusan Ilahi: Di sinilah kontras paling tajam dengan Victor Frankenstein muncul. Alih-alih meninggalkan atau menghancurkan ciptaan-Nya yang “memberontak”, Allah, menurut iman Kristen, mengambil langkah ekstrem untuk bertanggung jawab. Dalam pribadi Yesus Kristus (yang diimani sebagai Allah yang menjadi manusia), Sang Pencipta masuk ke dalam penderitaan ciptaan-Nya. Puncaknya adalah kematian Yesus di kayu salib – sebuah tindakan yang dipahami sebagai penebusan dosa, di mana Sang Pencipta menanggung konsekuensi dari kegagalan ciptaan-Nya untuk memulihkan hubungan dan menawarkan jalan rekonsiliasi. Ini adalah bentuk tanggung jawab tertinggi: pengorbanan diri demi kebaikan ciptaan.
Membangun Narasi yang Baik: Pelajaran dari Kontras
Perbandingan antara Victor Frankenstein dan narasi penebusan Kristiani menawarkan perspektif yang kuat untuk membingkai diskusi tentang teknologi:
- Frankenstein sebagai Peringatan: Kisah ini melambangkan bahaya inovasi yang didorong semata-mata oleh ambisi tanpa pertimbangan etika dan tanggung jawab jangka panjang. Meninggalkan atau mengabaikan konsekuensi dari teknologi yang kita ciptakan (seperti bias algoritma, dampak sosial AI, atau masalah privasi) dapat mengarah pada “monster” metaforis yang merusak tatanan sosial dan kemanusiaan kita.
- Teologi Kristen sebagai Model Tanggung Jawab: Narasi penebusan, terlepas dari keyakinan pribadi, menyajikan model radikal tentang tanggung jawab pencipta. Ini menyarankan bahwa ketika ciptaan kita (dalam hal ini, teknologi) menimbulkan masalah atau konsekuensi negatif, respons yang etis bukanlah penolakan atau pelarian diri, melainkan keterlibatan aktif, bahkan pengorbanan (misalnya, mengorbankan keuntungan jangka pendek demi keamanan jangka panjang, atau menarik produk yang berbahaya meskipun sudah banyak investasi). Ini adalah panggilan untuk “mengasihi” ciptaan kita dengan memastikan perkembangannya selaras dengan kebaikan bersama.
Narasi yang baik untuk mengkomunikasikan hal ini harus menekankan bahwa teknologi, seperti makhluk Frankenstein atau manusia dalam teologi Kristen, adalah hasil dari tindakan penciptaan. Oleh karena itu, kita, sebagai penciptanya, memikul tanggung jawab moral yang mendalam atas dampaknya. Kita perlu bergerak melampaui sekadar pertanyaan “Bisakah kita membuat ini?” menuju pertanyaan “Haruskah kita membuat ini?” dan “Bagaimana kita memastikan ciptaan ini melayani kebaikan, bukan kehancuran?”.
Menuju Pengelolaan Teknologi yang Bertanggung Jawab
Pertanyaan apakah teknologi akan menjadi liar seperti dalam Frankenstein pada akhirnya bergantung pada pilihan kita. Teknologi itu sendiri seringkali netral; arahnya ditentukan oleh nilai-nilai, niat, dan etika yang kita tanamkan di dalamnya. Kisah Victor Frankenstein adalah pengingat yang suram tentang apa yang terjadi ketika ambisi mengalahkan tanggung jawab. Sebaliknya, narasi teologis tentang Pencipta yang rela berkorban demi ciptaan-Nya, meskipun berasal dari ranah iman, menawarkan metafora kuat tentang tingkat kepedulian dan tanggung jawab yang mungkin diperlukan untuk mengarahkan kekuatan teknologi yang luar biasa ini.
Mengendalikan kemajuan teknologi bukan berarti membatasinya secara membabi buta, tetapi membimbingnya dengan kebijaksanaan, etika, dan pandangan jauh ke depan. Kita perlu membangun narasi kolektif yang mengakui peran kita sebagai “pencipta” di era teknologi ini, dengan segala tanggung jawab yang menyertainya, agar masa depan yang kita bangun adalah masa depan yang manusiawi dan berkelanjutan, bukan horor gotik yang menjadi kenyataan.
Referensi
- Shelley, Mary Wollstonecraft.Frankenstein; or, The Modern Prometheus. (Edisi asli diterbitkan tahun 1818. Berbagai edisi modern tersedia).
- Catatan: Novel ini adalah sumber utama untuk analisis karakter Victor Frankenstein, makhluk ciptaannya, dan tema-tema tentang ambisi, penciptaan, penolakan, dan tanggung jawab.
- Alkitab (The Bible). (Khususnya Kitab Kejadian untuk narasi Penciptaan dan Kejatuhan; Kitab-kitab Injil dan Surat-surat Paulus untuk doktrin Penebusan melalui Yesus Kristus).
- Catatan: Ini adalah sumber primer untuk konsep teologi Kristen tentang Allah sebagai Pencipta, manusia sebagai ciptaan, dosa, dan karya penebusan Kristus. Interpretasi spesifik didasarkan pada pemahaman dogmatika Kristen yang umum diterima.
- Diskursus Kontemporer tentang Etika Teknologi dan AI. (Tidak ada satu buku tunggal, tetapi merujuk pada bidang studi yang luas).
- Contoh Penulis/Pemikir Relevan (meskipun tidak dikutip langsung di atas): Nick Bostrom, Yuval Noah Harari, Kate Crawford, Shoshana Zuboff, para filsuf teknologi, dan laporan dari lembaga etika AI.
- Catatan: Bagian tentang tantangan teknologi digital (kontrol AI, bias, dampak sosial, privasi) didasarkan pada isu-isu yang banyak dibahas dalam literatur dan diskusi publik saat ini mengenai etika teknologi.